Anakku Fakhri Tomi Dzakwan |
"Kamu enggak kangen Bapakmu Ri?" salah seorang saudara bertanya ke anakku yang mempunyai panggilan Fakhri.
“Enggak, Aku kangennya sama Pakde Mubin”
“Kenapa?”
“Dulu kan Ibuku dagang.. Pakde Mubin yang mandiin aku, nyebokin aku, nidurin aku, ngajarin aku belajar, ngajak main aku” jawaban tulus dari anakku yang genap berusia 5 tahun dua bulan lalu.
Waktu bersama pakdenya memang lebih lama bila dibandingkan dengan bapaknya. Dalam kurun waktu 5 tahun usianya, bapaknya membersamai hanya 10 bulan. Sejak kelahiran hingga usia 7 bulan dan 3 bulan di usianya yang ke tiga ketika pulang cuti.
Dulu yang menjadi alasan untuk meninggalkannya ke Negeri orang adalah karena kelahirannya yang tidak normal, kata bidan posisinya terlilit tali pusar. Sehingga harus operasi sesar setelah 3 hari di bidan yang memerlukan biaya besar untuk keperluannya. Lebih-lebih di Jakarta yang segala sesuatunya lebih mahal bila dibandingkan di daerah.
Dengan berat hati di Usianya yang ke 7 bulan kutinggal merantau menjadi TKI di Saudi Arabia hingga saat ini. Dan tinggal dijakarta bersama dengan Pakdenya sampai usia 4,5 Tahunan yang hingga ahirnya pulang ke kampung halaman menemani neneknya yang sudah menua dan sekolah PAUD dikampung.
Sosok seorang Bapak yang semestinya ada disampingnya memberikan kasih sayang dan keteladanan tergantikan oleh Pakdenya yang dengan sabar mengasuh seperti anaknya sendiri. lebih-lebih ketika warung milik Budenya ramai oleh pembeli, hari-hari anakku selalu bersama Pakdenya. Karena istriku dan budenya sibuk diwarung.
Mungkin hal itulah yang membuat anakku lebih dekat dengan Pakdenya. Sampai-sampai ketika keduanya (bapaknya dan Pakdenya) jauh darinya, sosok yang dirindukan adalah Pakdenya. Memori otaknya selalu mengingat moment-moment ketika sentuhan kasih sayang diberikan oleh Pakdenya. Sedangkan Ingat Bapaknya ketika minta sesuatu yang berkaitan dengan uang.
Hal itu menunjukkan bahwa uang bukan segalanya. Tetapi untuk memenuhi segala kebutuhan fisiknya membutuhkan uang. Ternyata yang selalu di ingat di benak anak bukan siapa yang selalu memberi uang tetapi justru yang memberi sentuhan kasih sayang. Maka ada benarnya jika banyak kejadian kalangan menengah keatas bahwa anak justru lebih dekat dengan pembantu. Datang ke orang tuanya hanya jika butuh uang saja.
Saya jadi berfikir, bagaimanakah jika yang meninggalkan anak justru seorang ibu? Apakah sentuhan kasih sayangnya bisa digantikan dengan uang yang dikirim? Bisa digantikan dengan barang yang dibelikan? Bisa digantikan dengan kata sayang yang disampaikan lewat telepon? Apakah benar jika kedua orang tua merantau adalah demi masa depan anak? Ataukah itu hanya sebuah keegoisan orang tua yang ingin menumpuk kekayaan sehingga rela meninggalkan anak-anaknya? Bukankah tanggung jawab nafkah itu dipundak Suami?
Mungkin bisa dimaklumi jika yang pergi merantau menjadi TKW (tenaga kerja Wanita) di negeri orang itu adalah seorang single parent/ janda. Yang tidak bisa ditolerir adalah ketika seorang perempuan yang masih punya suami dan ketika dirantau ngakunya janda. Walaupun tidak diketahui anak, suami dan keluarga, masih pantaskah seorang ibu yang seperti ini berharap anak-anaknya menjadi anak yang baik?
Entahlah, fenomena TKI kalau dibahas memang tak ada habisnya.. pada kenyataannya saya juga masih menjadi TKI. Semoga kita semua yang masih bergelar TKI segera menjadi purna, bisa membuka lapangan kerja dinegeri sendiri sehingga menjadi pintu rezki buat orang lain. Aamiin…
By Bang Tono