Jumat, 20 Maret 2015

Misteri Rezki Di Tanah Suci

Uang Pecahan 100 dan 5 Real Saudi yang sekilas tampak mirip (Dok Pribadi)
Ahir-ahir ini Facebook diramaikan dengan video "Rumangsamu" yang di uploud oleh TKI dari berbagai negara. Beberapa diantara mereka ada yang Pamer gaji dan bahkan ada yang merusak barang elektronik (HP, Handycam, Laptop) milik mereka dengan Palu. Padahal rezki itu misteri, sekarang mungkin kita berkelebihan bisa jadi besok berkekurangan. 

Rezki adalah titipan yang sewaktu-waktu bisa diambil oleh sang pemiliknya lewat berbagai jalan. Tak pantaslah jika kita menyombongkan dan memamerkannya. Cukuplah kita mensyukurinya dan berbagi atas kelebihan rezki kita. Berikut adalah beberapa contoh kisah nyata tentang Misteri Rizki

Kehilangan Dompet (Bahra Jeddah, 2013)

Tampak wajah Sumringah Pak Komari yang hendak pulang cuti dan bisa bertemu keluarga di Jepara.
“Alhamdulilah kang pasportku sudah turun dan tadi sudah tak ambil dikantor” sambil duduk dia membuka obrolan sore itu ketika pulang kerja.

“uang tiket dan gaji terahir sudah diambil juga?”

“Belum, mungkin besok… tadi dikantor Muhasifnya (bagian keuangan) sedang tidak ada”

“Semoga lancar ya de..” Karena Umurnya jauh diatasku, aku memanggilnya Pakde.

Tiga hari kemudian semuanya sudah beres, Pasport, visa dan uang sudah ditangan tinggal membeli tiket. Perasaan bahagia semakin memancar diwajahnya. Terbayang kampung halaman seolah sudah didepan mata, anak istri dengan riang menyambutnya setelah 2 tahun ditinggalkannya. Itulah yang menjadi angan-angannya dan angan-angan semua orang yang merantau jauh dari keluarga.

Namun hendak dikata apa, Takdir tak menyertainya.. pancaran kebahagiaan yang kemarin tampak jelas sinarnya, kini redup seketika. Itulah pemandangan yang kulihat ketika aku pulang kerja dan bertemu dengannya.

“sudah jadi beli tiket de? Pulang kapan?” Sapaku yang memang tidak tahu apa yang terjadi.
Dengan nada lirih dan sendu seperti orang yang sedang berduka Pak Komari menjawab;

“Enggak tau nih kang, jadi pulang apa enggak” tangan kanannya mengusap air mata yang jatuh dipipinya.

“Lho… emang kenapa? Bukannya kemarin semuanya sudah beres?”

“Tadi saya sudah dari Jeddah, beli oleh-oleh kurma dan mainan untuk cucuku, tetapi belum beli tiket. Sampainya dirumah waktu aku mau beli rokok dompetku enggak ada. Enggak tau jatuh dimana atau dicopet orang waktu tadi dikendaraan”.

“Terahir buka dompet dimana?”

“Ya tadi waktu bayar kurma, lha wong naik couster (mobil angkutan disaudi sejenis Mitsubishi) juga dibayarin sama temanku… jadi enggak ngeluarin dompet”.

“Hilang semua?”

Tetesan air matanya semakin deras membasahi pipi, dia lupa bahwa dia seorang laki-laki yang sudah menjadi kakek yang semestinya tidak pantas untuk menangis.

“tinggal 7 real kang.. ini yang ada dikantong depan, Ibaratnya buat makan saja sudah tidak punya.. habis semua”.

Walau tak sampai meneteskan air mata, hati ini sebenarnya ikut menangis.. larut dalam duka yang dialami Pak Komari. Betapa tidak, kemarin-kemarin sudah senang sekali mau pulang. Dan ternyata takdir berkehendak lain.

“Masalah makan enggak usah dipikirin de, temannya banyak ini… Masalah jadi pulang apa enggak nanti kita cari solusinya bareng-bareng..” ungkapku menenangkan.

“Sudah makan apa belum? Ya sudah sana makan dulu.. itu aku masih punya nasi dan sayur..” kebetulan nasi dan sayur yang ku masak sore masih ada.

“iya nanti… enggak lapar”

“Begitulah rezki de.. datang dan pergi sesuai kehendak sang pemilik rezki. kita tidak bisa menentukan Cuma bisa berikhtiar.. yang sabar.. semoga ini Ujian.. semoga nanti diganti dengan yang lebih besar lagi di lain kesempatan. Aamiin…”


Untunglah masih ada menantunya yang sama-sama bekerja disitu. Ahirnya setelah menantunya gajian baru dibeliin tiket dan ditambah sumbangan sekedarnya dari teman-teman seperjuangan.

**********----------***********
Kamarku Kemalingan (Makkah, Agustus 2014)

Dalam hati bertanya-tanya dan penuh dengan dugaan maupun prasangka, ada apa yang sebenarnya? Kok tak biasanya… jam kerja tiba-tiba ada panggilan ke kantor, dan yang dipanggil adalah semua yang satu kamar denganku.

"Kamarmu ada yang bobol, segera pulang sekarang… periksa barang-barangmu apa saja yang hilang. Ikut dengan dia biar dianterin, nanti ada mobil yang jemput." Kata orang kantor sambil menunjuk ke orang suruhannya yang mengantarkan kami ke Basement Masjidil Haram tempat dimana kami dijemput untuk pulang.

Tampak muka kusut diantara kami berlima yang semuanya mempunyai Laptop. "Wuaduh, kameraku kalau hilang gimaana ya…" keluh seorang teman yang mempunyai kamera Nikon baru.

Dalam diam ku berdo’a semoga ini yang terbaik buatku kalau memang Laptopku harus hilang. Sungguh itu barang berharga milikku satu-satunya. Untuk membelinya penuh perjuangan, harus merayu istri untuk menerima tidak dikirimi dua bulan demi mendapatkannya.

Waktu itu 2011 Harga Laptop masih mahal sedangkan gajiku belum seberapa. Harus merogoh kocek hingga 2600 SAR untuk mendapatkan laptopnya saja belum termasuk aksesoris lainnya. Dan tentunya banyak file kenangan maupun karya saya didalamnya.

“Berawal dari tidak punya hingga ahirnya punya, dan jika sekarang semuanya hilang dan menjadi tidak punya lagi, kita harus bisa menerima” itulah yang kukatakan pada teman-temanku ketika ahirnya mobil jemputan datang.

Sesampainya di Mess semua bergegas untuk memeriksa barang masing-masing. Dengan hati bergemuruh kubuka koper milikku yang ada dibawah ranjang tempat tidur. Alhamdulilah masih ada.. Kebetulan hari itu saya masukkan dikoper walaupun tidak saya kunci. Padahal sering sekali kubiarkan tergeletak begitu saja dimeja kecilku. Mungkin itulah skenario Tuhan, Dia yang kuasa tidak menghendaki milikku hilang. Begitulah Misteri rizki, ketika dikehendaki untuk pergi tiada yang bisa menanti.

Terhitung barang-barang yang hilang yaitu tiga laptop, satu HP black Barry, Charger Kamera Nikon, dan berbagai aksesoris laptop mulai dari mouse pad, kipas, speaker, hands free dan lain-lain. Bahkan sampai jam tangan murahan-pun ikut diembatnya.

**********----------***********
Uang Kaget (Makkah, Nopember 2014)

Di suatu sore ketika pulang kerja di Masjidil Haram kulangkahkan kaki dengan cepat sebagaimana teman-teman yang lain. Tak ada firasat apapun tentang apa yang akan terjadi. Yang ada difikiran hanya cepet sampai mess jangan sampai Maghrib dijalan.

Ketika Aku berjalan dipelataran Masjidil Haram tepatnya disamping Gedung zam-zam Tower tampak seorang kakek tua berjubah putih pakaian khas saudi kayak sedang mencari seseorang. Tak lama kemudian kami berpapasan dan tangan kananku diraihnya. Aku merasakan ditelapak tangan ada gesekan kertas yang dikepalkan.

Tak ada ucapan kata apapun dari kakek tersebut. Sambil berlalu ku ucapkan kata "Syukron (Terimakasih)" lalu kuteruskan langkah kakiku. Sambil jalan sekilas kulihat apa yang dikepalkan ditanganku lalu kumasukkan kantong sakuku.

Aku sadar bahwa apa yang dikepalkan ditanganku itu adalah uang. Karena sebelumnya aku sudah sering mendengar cerita dari teman-teman yang mengatakan bahwa sering ada orang-orang yang memberikan sedekah di kawasan Masjidil Haram baik makanan maupun uang mulai dari yang recehan sampai ratusan bahkan ribuan real dengan berbagai cara.

Sebelum aku masukkan kantong, sekilas kulihat bahwa yang diberikan itu adalah 5 real. Sesampinya di mobil dalam perjalanan pulang kucoba pastikan selembar kertas yang ada dikantong celana jeansku, "Alhamdulilah dapat sabilan 5 real" pikirku.

Mendapatkan sedekahan baik makanan maupun apapun teman-teman disini menyebutnya "Sabilan" yang diambil dari kata "sabillillah" karena kalau misal ada yang bagi-bagi makanan (kurma/roti) gratis dia akan teriak-teriak Sabililillah… sabillillah….

Subhanallah… ternyata yang diberikan itu seratus real setara dengan 340 ribu rupiah dengan kurs 3 400/real kisaran saat ini. Yang kulihat tampak sedang mencari seseorang ternyata sedang mencari orang yang hendak diberi sedekah. Mungkin seperti inilah yang disebut dengan sedekah sembunyi-sembunyi, tidak perlu tau, mengenal dan dikenal oleh orang yang diberi, Cukup Allah saja yang tau.

*************--------------**************
Handphone dan Toilet (Makkah, February 2015)

Ada beberapa Escalator Ceilling yang tidak bisa dikerjakan karena terkendala berbagai hal. Untuk itu atasanku memberikan tugas untuk mengambil gambarnya sebagai laporan.

Pagi-pagi segera ku bergegas mengambil kamera di lemari kantor dan turun ke lokasi pekerjaan. Tak lama setelah ceprat-cepret perut terasa mulas. Karena merasa tanggung, sejenak ku tahan dan menyelesaikan pengambilan gambar di lokasi itu baru kemudian buru-buru ke Toilet. Sesampainya di toilet kugantungkan kamera dan helm di pintu.

Baru beberapa menit saya menikmati nikmatnya bisa buang hajat, terdengar suara “Prak” di belakangku. HP Samsung yang ada dikantong celana terjatuh. Baru menoleh belum sempat menyahutnya sudah keduluan terperosok masuk kedalam closed toilet. Karena terburu-buru, aku lupa ada HP menyelip dikantong.
Closed toilet Masjidil Haram berbeda dengan di Indonesia pada umumnya. Lubang closed disini lurus memanjang kebawah hingga kedalaman kurang lebih 70–120 cm. sehingga tak mungkin bisa mengambilnya dengan tangan kosong.

Aku bilang ke petugas kebersihan “ini HP-ku nyemplung disini, bisa enggak diambil?”
Cuma bilang “sebentar” dengan bahasa isyarat tangannnya dia berlalu meninggalkanku dan memanggil pekerja bagian pipa yang kebetulan sedang melakukan perbaikan disitu.

Kutunggu beberapa saat tetapi belum membuahkan hasil.

Karena aku masih punya tanggung jawab pekerjaan, segera kutinggalkan nomor telepon kalau seumpama nanti berhasil diambil. Agak siang dia miscall.. setelah aku telpon balik katanya tidak bisa diambil, mesti buka dari bawah basement.

“Apa kamu masih menginginkannya?” tanyanya via telepon.

Aku membayangkan kalau toh bisa diambil apa mungkin nanti bisa hidup kembali setelah sekian jam terendam diair? Terus kira-kira baunya kayak apa? Berarti memang belum rezki saya, “Ya sudahlah biarin az” jawabku.

Setelah semua pekerjaan selesai, aku telpon istriku “Maaf ya bu, untuk sementara beberapa hari kita tidak bisa whatsapan dan telpon via Massanger, karena HP bapak yang baru nyemplung di toilet”.

“Pantesan tak whatsap dari pagi tidak dibalas-balas… ada apa gitu..?  ya udah kalau begitu yang penting Bapaknya enggak ada apa-apa.. Ibunya dah lega” jawab istriku dibalik telepon yang jauh disana.

By Bang Tono 









Selasa, 03 Maret 2015

Benarkah TKI Hemat itu "Pelit"?

Makanan Gratisan Buka Puasa di Masjid (Dok pribadi Ramadhan 2014)
Ada orang yang katanya hemat padahal pelit, ada yang pelit tetapi tidak hemat. Hidup diperantauan sudah semestinya berhemat agar pengorbanan kita jauh dari keluarga tidak sia-sia dan tidak selamanya menjadi perantau (TKI).

Menekan pengeluaran dengan tidak menghambur-hamburkan pengeluaran untuk kebutuhan konsumtif yang sifatnya bukan kebutuhan pokok disebut hemat. Membeli sesuatu berdasarkan kebutuhan bukan keinginan.
Sedangkan Pelit/ bakhil adalah enggan berbagi kepada orang lain. Sebagian orang punya karakter pelit dengan tujuan untuk menghemat.

Hemat dan pelit keduanya mempunyai tujuan yang sama yaitu menekan pengeluaran. Dua hal yang sama tetapi sebetulnya berbeda. Hemat sangat dianjurkan sedangkan pelit sesuatu hal yang dilarang dalam agama dan tidak disukai oleh banyak orang termasuk orang pelit itu sendiri.

Apakah kita termasuk orang yang hemat? Atau sebetulnya bakhil/pelit. Orang yang pelit adalah orang yang enggan berbagi/memberi terhadap sesamanya padahal senang sekali jika diberi. Aku juga sudah berbagi kok! Berapa persen dari hasilmu? Kalau hasilmu puluhan juta tetapi yang dibagi masih ribuan itu masih disebut pelit.

Orang pelit biasanya gemar dengan barang-barang gratisan, padahal sebetulnya bukan haknya. Kalau kita bisa dapat yang gratis, berarti itu rezki tetapi jangan dicari. Kalau kebetulan dapat usahakan dilain kesempatan berbagi yang lebih banyak dari yang kita dapat dari gratisan tersebut.

Selain hal diatas, orang Pelit punya karakter nebeng/ numpang ke orang lain dalam hal apapun. Dengan alasan tidak bisa masak ahirnya makan nebeng ke teman-temannya. Mestinya belanja dong..! biar temanmu yang masakin tetapi jangan dimintai iuran. Memangnya masak enggak bisa dipelajari? Ditraktir ayo, kalau mentraktir tidak mau. Lebih banyak ditraktir daripada mentraktir. Lebih banyak diberi daripada memberi.
Benarkah setiap orang yang menghemat itu pelit? Benarkah TKI hemat itu pelit? “Belum tentu..” Untuk memperjelas pemahaman kita, berikut adalah contoh orang yang hemat tetapi tidak pelit.

Rahim adalah seseorang yang bekerja di sebuah perusahaan swasta di Saudi. Dia tinggal bersama dengan teman-temannya di Mess. Setiap satu kamar terdiri dari 4 orang. Bekerja di luar negeri menjadi pilihannya karena dia terlilit sebuah hutang setelah salah satu dari anggota keluarganya sakit hingga mesti di Operasi. Belum lagi ditambah hutang untuk ongkos keberangkatannya. Agar Rahim bisa segera melunasi Hutang-hutangnya, dia mesti menghemat.

Beberapa cara Rahim untuk menghemat adalah dia selalu berpuasa Senin- Kamis dan tidak merokok. Untuk makan dia memasak sendiri dan belanjanya kepasar setiap seminggu sekali walaupun di mess ada toko/ bagala. Kebetulan di mess ada fasilitas kulkas untuk setiap kamarnya dan Bis antar jemput ke pasar setiap seminggu sekali.

Dia menelpon keluarga hanya sesekali saja, tetapi agar tetap bisa selalu berkomunikasi dengan keluarga dia menggunakan SMS dan chatt via Faceebook. Kebetulan dulu belum ada Whatsap dan Massanger. Dia juga jarang jajan. Daripada jajan setiap hari 3-5 real lebih baik jajan sesekali tetapi yang sekiranya cukup untuk dimakan bareng-bareng temannya satu kamar. Dia merasa bahwa makan bersama lebih nikmat dari pada makan sendiri".

Walaupun sudah berkeluarga dan masih kekurangan, Rahim tetap berbagi. Sesekali dia mengirim uang untuk Amil Sedekah, orang tua, mertua, adik, dan saudara yang membutuhkan yang diambilkan dari 10 persen dari gajianya setiap bulan.

Sekiranya ada yang salah mohon dibenarkan, Terimakasih..
Salam Positif

By Bang Tono





Kamis, 19 Februari 2015

Bertahun-tahun Menjadi TKI Tak Di Rindukan Anak

Anakku Fakhri Tomi Dzakwan
"Kamu enggak kangen Bapakmu Ri?" salah seorang saudara bertanya ke anakku yang mempunyai panggilan Fakhri.

“Enggak, Aku kangennya sama Pakde Mubin”

“Kenapa?”

“Dulu kan Ibuku dagang..  Pakde Mubin yang mandiin aku, nyebokin aku, nidurin aku, ngajarin aku belajar, ngajak main aku” jawaban tulus dari anakku yang genap berusia 5 tahun dua bulan lalu.
Waktu bersama pakdenya memang lebih lama bila dibandingkan dengan bapaknya. Dalam kurun waktu 5 tahun usianya, bapaknya membersamai hanya 10 bulan. Sejak kelahiran hingga usia 7 bulan dan 3 bulan di usianya yang ke tiga ketika pulang cuti.

Dulu yang menjadi alasan untuk meninggalkannya ke Negeri orang adalah karena kelahirannya yang tidak normal, kata bidan posisinya terlilit tali pusar. Sehingga harus operasi sesar setelah 3 hari di bidan yang memerlukan biaya besar untuk keperluannya. Lebih-lebih di Jakarta yang segala sesuatunya lebih mahal bila dibandingkan di daerah.

Dengan berat hati di Usianya yang ke 7 bulan kutinggal merantau menjadi TKI di Saudi Arabia hingga saat ini. Dan tinggal dijakarta bersama dengan Pakdenya sampai usia 4,5 Tahunan yang hingga ahirnya pulang ke kampung halaman menemani neneknya yang sudah menua dan sekolah PAUD dikampung.
Sosok seorang Bapak yang semestinya ada disampingnya memberikan kasih sayang dan keteladanan tergantikan oleh Pakdenya yang dengan sabar mengasuh seperti anaknya sendiri. lebih-lebih ketika warung milik Budenya ramai oleh pembeli, hari-hari anakku selalu bersama Pakdenya. Karena istriku dan budenya sibuk diwarung.

Mungkin hal itulah yang membuat anakku lebih dekat dengan Pakdenya. Sampai-sampai ketika keduanya (bapaknya dan Pakdenya) jauh darinya, sosok yang dirindukan adalah Pakdenya. Memori otaknya selalu mengingat moment-moment ketika sentuhan kasih sayang diberikan oleh Pakdenya. Sedangkan Ingat Bapaknya ketika minta sesuatu yang berkaitan dengan uang.

Hal itu menunjukkan bahwa uang bukan segalanya. Tetapi untuk memenuhi segala kebutuhan fisiknya membutuhkan uang. Ternyata yang selalu di ingat di benak anak bukan siapa yang selalu memberi uang tetapi justru yang memberi sentuhan kasih sayang. Maka ada benarnya jika banyak kejadian kalangan menengah keatas bahwa anak justru lebih dekat dengan pembantu. Datang ke orang tuanya hanya jika butuh uang saja.

Saya jadi berfikir, bagaimanakah jika yang meninggalkan anak justru seorang ibu? Apakah sentuhan kasih sayangnya bisa digantikan dengan uang yang dikirim? Bisa digantikan dengan barang yang dibelikan? Bisa digantikan dengan kata sayang yang disampaikan lewat telepon? Apakah benar jika kedua orang tua merantau adalah demi masa depan anak? Ataukah itu hanya sebuah keegoisan orang tua yang ingin menumpuk kekayaan sehingga rela meninggalkan anak-anaknya? Bukankah tanggung jawab nafkah itu dipundak Suami?

Mungkin bisa dimaklumi jika yang pergi merantau menjadi TKW (tenaga kerja Wanita) di negeri orang itu adalah seorang single parent/ janda. Yang tidak bisa ditolerir adalah ketika seorang perempuan yang masih punya suami dan ketika dirantau ngakunya janda. Walaupun tidak diketahui anak, suami dan keluarga, masih pantaskah seorang ibu yang seperti ini berharap anak-anaknya menjadi anak yang baik?


Entahlah, fenomena TKI kalau dibahas memang tak ada habisnya.. pada kenyataannya saya juga masih menjadi TKI. Semoga kita semua yang masih bergelar TKI segera menjadi purna, bisa membuka lapangan kerja dinegeri sendiri sehingga menjadi pintu rezki buat orang lain. Aamiin…